TOLITOLI yang diangap tidak ada orang miskin, nyatanya ada 48 jiwa yang terdiri dari sejumlah Kepala Keluarga (KK). Ada janda, ada duda, ada balita, bahkan ada 12 anak usia sekolah dan 8 diantaranya tidak sekolah. Mungkin masih banyak lagi yang lain, belum ditemukan. Mereka berdesakan di bekas Bioskop Beringin, sekitar 2 kilometer dari gedung DPRD dan kantor bupati. Letaknya tidak terpencil di gang, tapi di tepi jalan Abdul Muis. Mereka sudah sekitar lima tahun menumpang di situ. Mereka hidup di tengah kota yang setiap hari mobil pejabat dan pengusaha melewati pemukiman mereka. Setiap hari aktivis LSM, akademisi, politisi, agamawan hilir mudik melewati pemukiman mereka. Tapi, baru kali ini sebuah organisasi perempuan menemukan dan mencoba mengkomunikasikan dengan DPRD, dan pers. DPRD Tolitoli, Redaksi Metro Tolis, beberapa wartawan lainnya, dan Organisasi Perempuan Peduli yang dipimpin, Endang Latori, berkunjung ke pemukiman tersebut. Dan sungguh menyentuh nurani sebagai sesama warga negara. Kenapa realitas seperti itu ada di tengah kota yang hanya berjarak kurang lebih 2 kilometer dari gedung DPRD dan Kantor bupati. Bagaimana yang letaknya jauh di pelosok desa dan dusun? Sedangkan di tengah kota dapat luput dari pantauan pemerintah, apalagi nan jauh di pelosok. Lebih memilukan lagui, sebab tidak ada satupun yang memiliki kartu miskin dan tidak satupun yang memiliki kartu Askeskin. Mereka tidak mendapatkan pelayanan publik yang sudah dilaksanakan selama hampir sepuluh tahun, sepert jatah raskin dan JPS (Askeskin). Bagaimana respon pemerintah tingkat kelurahan setelah mengetahui melalui pemberitaan Metro Tolis hari ini. Apakah secara langsung tanpa banyak komentar memberikan bantuan kepada mereka, atau perlu lagi rakyat miskin yang makan sekali sehari saja sudah beruntung harus direpotkan dengan persyaratan administrasi seperi mengurus KTP, kartu keluarga dan lain sebagainya. Pemerintah sudah harus mulai dengan penanggulangan masalah rakyat miskin secara progresif dengan meninggalkan pola-pola yang kaku, prosedural dan lamban. Segala macam persyaratan administrasi sepert KTP, kartu keluarga bukan sesuatu yang harus mutlak dan absolut. Kalaupun itu diperlukan, pemerintah yang secepatnya mengurus dan mereka hanya menerima saja. KTP dan kartu keluarga memang penting, tapi itu semua hanya kertas. Hanya karena alasan kertas itu, mereka lapar, mereka haus, mereka menahan kepedihan, dan mereka terhempas dari pergaulan memuaskan. Tidak kurang dari tiga lembaga yang nota bene sebagai pembela rakyat sudah turun. Agus Burhan dari DPRD Tolitoli, Adha Najamudin dari Pemred Metro Tolis, beberapa lagi wartawan, dan Endang dari Organisasi Rakyat (Perempuan Peduli) telah melihat dengan mata kepala sendiri. Ada memory. ada dokumentasi photo, andaikata masih tidak percaya, silahkan pemerintah turun sendiri secara langsung. Orang miskin yang berhimpitan di eks Bioskop Beringin setidaknya memberikan penguatan mengenai tuduhan orang bahwa birokrasi kita telah gagal melakukan fungsinya sebagai pelayan publik juga semakin memberi keyakinan bahwa reformasi birokrasi sangat mendesak dan tidak dapat ditunda-tunda. Keberadaan dinas dan lembaga teknis yang gemuk belum sejalan dengan roh PP 41 tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Sudah gemuk pula, tapi masih banyak masalah yang kunjung selesai. Kalau gemuk tapi semua masalah tuntas, yah tidak masalah. APBD setiap tahun yang diharapkan dapat berpihak kepada publik, justru lebih banyak dialokasikan pada proyek mercusuar dan perjalamam dinas. Dugaan mark up, pungli, calo proyek telah menyebabkan kerugian uang rakyat yang tidak sedikit. Dipredikisi setiap tahun terjadi pemborosan uang negara sebanyak 36 triliun secara nasional disebabkan mark up, pungli dalam pengadaan barang dan jasa. Pantas saja, kalau masih ada rakyat sangat miskin yang kehidupan dan kemanusiannya tercabik-cabik.***
Bayi Lahir Tanpa Lubang Anus Mau Dioperasi Tak Punya Uang
MALANG benar nasib Mukmin Muraghin. Putra pasangan Nasdin (28) dan Ratna (23), warga Jalan Sultan Hasanuddin 51A, itu lahir tanpa lubang anus. Nasdin kini bingung memikirkan biaya operasi putranya ini, sementara dokter RSU Mokopido merujuk pengobatan anak tersebut ke Makassar. Anak semata wayangnya itu, kini tergolek dan meringis menahan sakit di rumahnya kompleks Masjid Agung Tolitoli. Anak yang baru berusia 10 bulan itu, setiap harinya terpaksa buang air besar melalui perutnya. Januari lalu, perut Mukmin terpaksa dioperasi agar bisa mengeluarkan kotoran lewat perutnya itu. “Hanya saja sekarang saya khawatir karena sekitar lubang perutnya sering pendarahan,” tutur Nasdin, sedih. Agar luka anak itu terhindar dari infeksi, maka perutnya diperban, lalu dilekatkan kertas plastik. Melalui kertas plastik itulah kotoran balita itu ditampung. Agar selalu steril, perbannya harus diganti lima kali sehari dengan mengunakan NACL sebagai pencuci, lalu dibersihkan dengan kain kasa. Setelah itu baru dioleskan salep Betason N, kemudian dipasangi kertas plastic, lalu diplester. Begitulah Ratna, setiap harinya selama 10 bulan mengurus bayi malangnya itu. Menurut Nasdin, putranya Mukmin Muraghin lahir 3 Januari 2007 lalu di desa Lamadong, Buol, dalam kondisi normal. Dalam proses persalinan istrinya itu dibantu seorang bidan desa dan dukun beranak. Mereka tidak menaruh curiga dengan anaknya itu karena lahir dalam keadaan normal. Punya tangan, punya kaki, punya kemaluan, punya pantat. Pokonya sempurna. “Nanti kami kaget setelah anak saya ini kencing dan mengeluarkan kotoran lewat kemaluanya. Setelah dimandikan ternyata tidak punya lubang anus,” cerita Nasdin mengenang. Tiga hari kemudian, putra malangnya itu akhirnya dioperasi di RSU Mokopido Tolitoli. Dokter bedah terpaksa membuat saluran alternatif melalui perut. Sejak usia tiga hari itulah Mukmin Muraghin hingga kini terpaksa buang air besar melalui perutnya. Karena tidak sampai hati melihat putranya terus terusan seperti itu, September lalu, Mukmin dimasukkan kembali ke RSU Mokopido. Namun menurut Nasdin, dokter angkat tangan dan akan merujuk putranya itu ke Makassar. “Dokter belum keluarkan surat rujukan karena saya belum punya uang,” ujar Nasdin. Sampai saat ini, Nasdin yang hari-harinya sebagai loper majalah Islam Sabili ini sangat membutuhkan uluran tangan dari para dermawan untuk berobat lanjut putra kesayangannya itu.(adha)
Tolitoli adalah sebuah kabupaten bagian utara, provinsi Sulawesi Tengah, yang didiami hampir 200 ribu jiwa penduduk. Kabupaten yang dikenal sebagai salah satu produsen cengkih di Indonesia ini, berdiri sebuah surat kabar harian yang diberi nama harian umum Metrotolis. Surat kabar yang berdiri tahun 2007 ini telah melakukan penerbitan secara kontinyu. Sebagai satu-satunya surat kabar terbitan di daerah, Metrotolis mendapat apresiasi yang luar biasa dari masyarakat yang heterogen di Tolitoli. Cita-cita koran ini tidak muluk, dan tidak lebih dari sekadar surat kabar biasa yang dibaca oleh orang-orang biasa.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar